yang memberikan keuntungan yang menentukan bagi mereka yang menguasainya. Melalui media massa intelijen bukan hanya bereaksi dan melakukan counter

[30] Through the reign of President Abdurrahman Wahid, conflicts above ethnic problems in Kalimantan and religious difficulties in Maluku happened. My experience of becoming part of one of many palace’s facts sources at that time shows which the President lacked the assistance of legitimate facts from the field, was not able to control armed service manoeuvers that worsened the conflict by turning it into a business arena, and unsuccessful To maximise the influence of intelligence functions for avoidance and development of usual problems. The graphic with the President as a defender of religious and ethnic minorities, capable of orchestrate reform, was ‘thwarted’ because of the devices in the government businesses At the moment.

Reaksi kritis yang membangun buat semua prajurit TNI dan anggota Polri demi aparat yang berkualitas dan sejahtera  #uutni #perwira #bintara #tamtama #polri #tni #uupolri #infografis...

Paska 27 tahun perjalanan panjang reformasi, cita-cita reformasi memang belum mati, tapi reformasi hidup dilingkungan yang sama sekali bukan habitatnya. Begitu pula wajah intelijen negara yang bopeng terjangkit virus “politik ugal-ugalan”, akibat pandemi selama rezim Jokowi.

Abstrak Artikel ini menguji kompleksitas seputar kekerasan yang dilakukan oleh Muslim terhadap komunitas Ahmadiyah di Indonesia di period baru demokrasi reformasi. Kekerasan muncul sejak 1998 pasca Suharto ketika beberapa kelompok Muslim seperti Front Pembela Islam (FPI), yang mengklaim bahwa Ahmadiyah adalah kelompok yang sesat menurut ortodoksi Islam. Artikel ini mencoba memahami mengapa dan bagaimana Ahmadiyah menjadi concentrate on serangan kekerasan oleh beberapa kelompok Muslim di period pasca Suharto dengan meningkatnya kelompok fundametalis Islam setelah menemukan kebebasan baru beragama. Dengan demikian, pertanyaan yang muncul adalah bagaimana faktor politik, ekonomi dan teologi Islam muncul sebagai faktor penting yang mengkontribusi atas serangan kekerasan. Melalui identifikasi studi kasus tertentu penyerangan di kota-kota lintas pulau Jawa dan Lombok, saya juga akan mengeksplorasi bagaimana pemerintah membuat kebijakan untuk menemukan solusi yang terbaik dan sejauhmana efektifitas kebijakan tersebut untuk menyelesaikan masalah.

The territorial commands include provincial and district instructions Each individual with quite a few infantry battalions, often a cavalry battalion, artillery, or engineers, and there are actually a growing variety of infantry brigades remaining activated.

DENPASAR – Dalam dunia pengintaian atau penyusupan, dahulu kita mengenal istilah “Telik Sandi”. Istilah ini berasal dari bahasa Indonesia dan dikenal pada zaman kerajaan-kerajaan, di mana Telik Sandi adalah sebutan untuk mata-mata kerajaan yang bertugas mengawasi kerajaan-kerajaan lain.

This article examines the complexities surrounding violence by Muslims towards the Ahmadiyya community in Indonesia in its new era of democracy. Violence emerged in 1998 while in the write-up-Suharto period when some Muslim teams, which include Entrance Pembela Islam (FPI), claimed that Ahmadiyya is actually a deviant team (aliran sesat) In line with Islamic orthodoxy. This article operates to understand why and how Ahmadiyya grew to become a focus on of violent attacks by some Muslim teams in the publish-Suharto period by considering the rise of Islamic fundamentalist teams through this time of latest-uncovered spiritual independence. In doing so, I talk to how politics, financial system and Islamic theology emerged as significant elements that contributed on the assault. Via determining distinct situation experiments of assaults in metropolitan areas across Java and Lombok, I also discover how authorities creates the coverage to discover the very best Resolution And exactly how much the performance of this policy to unravel the trouble. Kata Kunci: Ahmadiyah, kekerasan, politik dan kebijakan negara 27

On seventeen November 1952, Standard Nasution was suspended as army chief of staff members pursuing Military indiscipline around command and guidance that threatens the government. In the 1950s, the military articulated the doctrines of dwifungsi and hankamrata, the navy roles within the place's socio-political development and safety; in addition to a need which the sources on the persons be at the decision of your armed forces and police When the Point out warrants it.

Pelibatan BIN dalam melakukan vaksinasi kepada masyarakat atau menciptakan vaksin klik disini sama sekali tidak mencerminkan agenda reformasi intelijen yang selama ini belum menunjukan progresivitas.

Namun langkah intelijen untuk melindungi atau menyelamatkan masyarakat, kerap kali tidak mendapat apresiasi yang layak. Bahkan masyarakat seakan tengah dijangkiti oleh sindrom ketakutan terhadap intelijen. Bahkan sebagian besar wakil rakyat juga demikian.[14]

Selama 32 tahun, Soeharto menggunakan alasan keamanan nasional, intelijen di bawah kendali militer bisa memasukan seseorang ke dalam penjara. Dengan dalih keamanan nasional, pers harus berhenti terbit dan patuh keinginan presiden atau kroninya.

“The return” of your President’s entire control over BIN has introduced again Recollections and concerns with regards to the potential for ‘misuse’ of intelligence for the government’s political pursuits. Especially in the midst of the present momentum on the Covid-19 pandemic, in which the President has the authority to take fast, unpopular, and emergency political and plan measures, including the deployment of military services and intelligence forces to support efforts to manage the threat of the Covid-19 pandemic.

Yang perlu menjadi perhatian dalam reformasi ini, meskipun intelijen bekerja di bawah pemerintahan yang demokratis, bukan berarti bahwa intelijen harus sepenuhnya di gerakkan oleh nilai-nilai demokratis.